Bentuk Interaksi
Sosial
Hubungan yang terjadi antarwarga masyarakat berlangsung sepanjang waktu.
Rentang waktu yang panjang serta banyaknya warga yang terlibat dalam hubungan
antarwarga melahirkan berbagai bentuk interaksi sosial. Namun, secara umum para
sosiolog membagi interaksi sosial menjadi dua bentuk, yaitu keteraturan sosial
dan konflik sosial. Apakah pengertian dua
konsep tersebut?
1. Keteraturan Sosial dan Konflik
Sosial
Di mana pun dan kapan pun kehidupan sosial selalu diwarnai oleh
dua kecenderungan yang saling bertolak belakang. Di satu sisi manusia
berinteraksi untuk saling bekerja sama, menghargai, menghormati, hidup rukun,
dan bergotong royong. Di sisi lain manusia berinteraksi dalam bentuk
pertikaian, peperangan, tidak adanya rasa saling memiliki, dan lain-lain.
Dengan demikian interaksi sosial mempunyai dua bentuk, yakni interaksi sosial
yang mengarah pada bentuk penyatuan (asosiatif) dan yang mengarah pada bentuk pemisahan
(disosiatif). Keteraturan sosial menunjuk pada suatu kondisi di mana sendisendi
kehidupan bermasyarakat berjalan secara tertib dan teratur sehingga tujuan
kehidupan bermasyarakat dapat tercapai. Keteraturan sosial dapat terwujud jika
setiap anggota masyarakat bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma sosial
yang berlaku dalam masyarakat. Sebaliknya, apabila seseorang bertindak dan
bertingkah laku mengabaikan nilai dan norma sosial, maka akan terjadi kondisi
yang tidak beraturan atau konflik.
2. Proses Asosiatif dan Keteraturan
Sosial
Setiap masyarakat menginginkan terciptanya keadaan yang teratur
dan tertib. Keteraturan dan ketertiban itu dapat tercapai bila seluruh anggota
masyarakat tunduk pada nilai dan norma yang berlaku.
Adapun ciri-ciri tertib sosial sebagai berikut.
a. Terdapat suatu sistem nilai dan norma yang jelas.
b. Individu atau kelompok memahami serta mengetahui normanorma
sosial dan nilai-nilai yang berlaku.
c. Individu atau kelompok menyesuaikan tindakannya dengan norma
sosial dan nilai sosial yang berlaku.
Apabila sistem nilai atau tatanan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat
diakui dan dipatuhi oleh masyarakat, maka disebut dengan tatanan sosial (sosial
order). Sedangkan kondisi keteraturan sosial yang tetap dan berlangsung terus menerus
disebut keajegan. Bentuk-bentuk keteraturan sosial itu bisa berwujud kerja
sama, akomodasi, dan asimilasi.
a. Kerja
Sama (Cooperation)
Sebagian besar bentuk interaksi sosial merupakan kerja sama. Kerja
sama muncul ketika masing-masing pihak memiliki kepentingan-kepentingan yang
sama dan pada saat bersamaan mereka mempunyai kesadaran untuk bekerja sama
dalam mencapai kepentingan-kepentingan tersebut. Ada beberapa bentuk interaksi
yang berupa kerja sama, yakni bargaining, cooptation, coalition, dan joint
venture. Soerjono Soekanto (1989) menjelaskan pengertian setiap bentuk kerja sama
itu sebagai berikut.
1) Bargaining adalah pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran
barang-barang atau jasa antara dua organisasi atau lebih.
2) Cooptation yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam
kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah
satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi
yang bersangkutan.
3) Coalition adalah kombinasi antara dua organisasi atau lebih
yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Coalition dapat menghasilkan keadaan yang
tidak stabil untuk sementara waktu, karena dua organisasi atau lebih tersebut
mungkin mempunyai struktur yang berbeda satu sama lain.
4) Joint venture yaitu kerja sama dengan pengusaha proyek tertentu
untuk menghasilkan keuntungan yang akan dibagi menurut proporsi tertentu.
b.
Akomodasi (Accomodation)
Sering kali kita berusaha untuk menyesuaikan keinginan kita dengan
kepentingan orang lain atau kelompok. Upaya itu ditempuh untuk mengurangi
ketegangan atau perpecahan. Upaya semacam itu dapat digolongkan dalam bentuk
interaksi sosial yang bersifat akomodatif. Akomodasi digunakan untuk menyebut
suatu proses penyesuaian antara individu dengan individu, individu dengan kelompok,
atau kelompok dengan kelompok, guna mengurangi, mencegah, atau mengatasi
ketegangan dan kekacauan. Ada dua pengertian akomodasi. Pertama, akomodasi
sebagai keadaan, yaitu suatu kenyataan adanya keseimbangan dalam berinteraksi
yang dilandasi dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial bersama. Kedua,
akomodasi sebagai proses, yaitu usahausaha manusia untuk meredakan suatu
pertentangan dalam rangka mencapai keseimbangan (kestabilan). Para sosiolog
telah merumuskan sembilan bentuk akomodasi, yaitu coercion, arbitrage, compromise,
mediation, conciliation, tolerance, stalemate, dan adjudication.
c.
Asimilasi (Assimilation)
Asimilasi menunjuk pada proses sosial yang ditandai adanya usaha
mengurangi perbedaan yang terdapat di antara beberapa orang atau kelompok serta
usaha menyamakan sikap, mental, dan tindakan demi tercapainya tujuan bersama. Proses
asimilasi terlihat pada usaha individu atau kelompok untuk bersama-sama dengan
individu atau kelompok lain mengurangi perbedaan-perbedaan yang ada demi
kepentingan bersama. Dapat pula dikatakan, asimilasi berupa bercampurnya kebudayaan
luar dengan kebudayaan lokal sehingga memunculkan kebudayaan baru. Contoh
asimilasi antardua kelompok masyarakat adalah upaya untuk membaurkan etnis
Tionghoa dengan masyarakat pribumi.
Faktor-faktor pendukung dan penghambat terjadinya proses asimilasi
sebagai berikut.
No.
|
Faktor Pendukung Asimilasi
|
Faktor
Penghambat Asimilasi
|
1.
|
Adanya toleransi antarkebudayaan
yang berbeda.
|
Letak geografis yang terisolasi
(tertutup).
|
2.
|
Adanya kesempatan yang
sama
dalam bidang ekonomi.
|
Rendahnya pengetahuan
tentang
kebudayaan yang lain.
|
3.
|
Adanya sikap menghargai
terhadap
orang asing dan
kebudayaannya.
|
Adanya ketakutan yang
berlebihan
terhadap kebudayaan yang
lain.
|
4.
|
Adanya sikap terbuka dari
golongan
yang berkuasa.
|
Adanya sikap superior yang
menilai
tinggi kebudayaan sendiri.
|
5.
|
Adanya kesamaan-kesamaan
dalam
unsur kebudayaan kedua
belah pihak.
|
Adanya perbedaan ciri-ciri
ras yang
mencolok.
|
6.
|
Terjadinya perkawinan
campur.
|
Adanya perasaan in-group yang
kuat.
|
7.
|
Adanya musuh bersama dari
luar.
|
Adanya perbedaan kepentingan.
|
3. Proses Disosiatif dan Konflik Sosial
Kehendak untuk maju sering menuntut masyarakat bergesekan dengan
nilai dan norma sosial. Untuk meraih keberhasilan, seseorang harus berkompetisi
dengan yang lain. Bahkan, tidak jarang pula kita terlibat pertentangan dengan
pihak lain. Interaksi sosial yang berbentuk kompetisi (persaingan) dan pertentangan
bisa dikatakan sebagai aspek dinamis dari masyarakat. Apa jadinya bila di dalam
masyarakat tidak terdapat kompetisi? Kehidupan akan terasa lamban bergulir.
Yakinkah kalian, ada sebuah masyarakat yang tidak pernah melakukan perubahan
terhadap nilai dan norma sosial? Bentuk-bentuk interaksi yang tergolong dalam
proses disosiatif ini memang mengarah pada konflik sosial. Namun, konflik
sosial tidak selalu berarti jelek untuk masyarakat.
a.
Persaingan (Competition)
Persaingan merupakan proses sosial yang ditandai adanya saling
berlomba atau bersaing antarindividu atau antarkelompok tanpa menggunakan
ancaman atau kekerasan untuk mengejar suatu nilai tertentu agar lebih maju, lebih
baik, atau lebih kuat. Persaingan mempunyai dua bentuk yaitu personal
competition dan impersonal competition. Personal competition menunjuk pada
persaingan antara individu dengan individu lainnya. Misalnya, Angga dan Dewi
bersaing merebut gelar siswa teladan SMA tingkat kabupaten. Sedangkan impersonal
competition mengacu pada persaingan yang tidak melibatkan satu per satu
individu, seperti persaingan antara satu sekolah dengan sekolah lain dalam menarik
minat masyarakat untuk masuk ke sekolah tersebut. Gillin dan Gillin seperti
dikutip oleh Soerjono Soekanto (1989) memberikan empat fungsi persaingan,
yaitu:
1) sebagai penyalur keinginan individu atau kelompok yang bersifat
kompetisi,
2) sebagai cara agar nilai-nilai dan sesuatu yang terbatas dapat diperebutkan
secara baik,
3) sebagai alat untuk mengadakan seleksi, serta
4) sebagai alat untuk menyaring warga dalam mengerjakan
tugas-tugas sehingga terjadi pembagian tugas.
b.
Kontravensi (Contravention)
Kontravensi terjadi pada seseorang karena ada gejala
ketidakpastian serta keraguan, atau perasaan tidak suka yang disembunyikan
terhadap pribadi orang lain. Namun, orang yang melakukan kontravensi tidak menampakkan
sikapnya secara jelas kepada orang tersebut. Dengan kata lain, kontravensi
adalah suatu sikap mental yang tersembunyi terhadap orang-orang lain atau
terhadap unsur-unsur kebudayaan kelompok lain. Leopold von Wiese dan Howard
Becker seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto (1989) menyebut empat subproses
kontravensi, yaitu:
1)Proses yang Umum Terjadi
Berupa perbuatan-perbuatan, seperti penolakan, keengganan, perlawanan,
perbuatan menghalang-halangi, protes, gangguan-gangguan, perbuatan kekerasan, dan
perbuatan mengacaukan rencana pihak lain.
2) Proses yang Sederhana
Seperti menyangkal pernyataan orang lain di muka umum, memaki-maki
orang lain, penolakan melalui surat selebaran, memfitnah, dan sebagainya.
3) Proses yang Intensif
Seperti perbuatan berkhianat, mengumumkan rahasia pihak lain, dan
sebagainya.
4) Proses yang Bersifat Taktis
Perbuatan seperti memprovokasi, intimidasi, mengejutkan lawan,
membingungkan pihak lain, dan sebagainya.
c.
Pertentangan (Conflict)
Pertentangan adalah suatu proses sosial dalam rangka memenuhi
tujuan individu atau kelompok dengan cara menentang pihak lain yang disertai
ancaman atau kekerasan. Setiap individu dan kelompok menyadari adanya
perbedaan-perbedaan, misalnya ciri-ciri badaniah, emosi, unsur-unsur
kebudayaan, dan pola perilaku. Perasaan yang berwujud amarah dan kebencian akan
mempertajam perbedaan ini. Oleh karena itu, konflik merupakan bentuk interaksi
sosial yang negatif. Contohnya, pertentangan antarkampung yang menggunakan
kekerasan. Menurut Soerjono Soekanto (1989) sebab-sebab terjadinya pertentangan
sebagai berikut.
1) Perbedaan antarindividu, seperti perbedaan pemikiran, pendirian,
ideologi, kepentingan, dan lain-lain.
2) Perbedaan kebudayaan, seperti adanya perasaan yang menganggap
kebudayaannya yang paling unggul dan meremehkan kebudayaan lain dapat memicu
perbedaan kebudayaan.
3) Perbedaan kepentingan, seperti pertentangan antara eksekutif
(pemerintah) dengan legislatif (DPR) adalah contoh nyata perbedaan kepentingan.
4) Perubahan sosial. Pergeseran nilai dan norma sosial merupakan
bentuk perubahan sosial. Apabila perubahan sosial itu berlangsung sangat cepat
dapat menimbulkan pertentangan antarkelompok, terutama antara kelompok yang menginginkan
perubahan dengan kelompok yang pro status quo (antiperubahan).
Charisma Bella Kisara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar