Hetalia: Axis Powers - Liechtenstein
Hetalia: Axis Powers - Liechtenstein

Sabtu, 25 April 2015

Social Interaction

Bentuk Interaksi Sosial

Hubungan yang terjadi antarwarga masyarakat berlangsung sepanjang waktu. Rentang waktu yang panjang serta banyaknya warga yang terlibat dalam hubungan antarwarga melahirkan berbagai bentuk interaksi sosial. Namun, secara umum para sosiolog membagi interaksi sosial menjadi dua bentuk, yaitu keteraturan sosial dan konflik sosial. Apakah pengertian dua
konsep tersebut?
1.    Keteraturan Sosial dan Konflik Sosial

Di mana pun dan kapan pun kehidupan sosial selalu diwarnai oleh dua kecenderungan yang saling bertolak belakang. Di satu sisi manusia berinteraksi untuk saling bekerja sama, menghargai, menghormati, hidup rukun, dan bergotong royong. Di sisi lain manusia berinteraksi dalam bentuk pertikaian, peperangan, tidak adanya rasa saling memiliki, dan lain-lain. Dengan demikian interaksi sosial mempunyai dua bentuk, yakni interaksi sosial yang mengarah pada bentuk penyatuan (asosiatif) dan yang mengarah pada bentuk pemisahan (disosiatif). Keteraturan sosial menunjuk pada suatu kondisi di mana sendisendi kehidupan bermasyarakat berjalan secara tertib dan teratur sehingga tujuan kehidupan bermasyarakat dapat tercapai. Keteraturan sosial dapat terwujud jika setiap anggota masyarakat bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sebaliknya, apabila seseorang bertindak dan bertingkah laku mengabaikan nilai dan norma sosial, maka akan terjadi kondisi yang tidak beraturan atau konflik.

2.    Proses Asosiatif dan Keteraturan Sosial

Setiap masyarakat menginginkan terciptanya keadaan yang teratur dan tertib. Keteraturan dan ketertiban itu dapat tercapai bila seluruh anggota masyarakat tunduk pada nilai dan norma yang berlaku.
Adapun ciri-ciri tertib sosial sebagai berikut.
a. Terdapat suatu sistem nilai dan norma yang jelas.
b. Individu atau kelompok memahami serta mengetahui normanorma
sosial dan nilai-nilai yang berlaku.
c. Individu atau kelompok menyesuaikan tindakannya dengan norma
sosial dan nilai sosial yang berlaku.

Apabila sistem nilai atau tatanan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat diakui dan dipatuhi oleh masyarakat, maka disebut dengan tatanan sosial (sosial order). Sedangkan kondisi keteraturan sosial yang tetap dan berlangsung terus menerus disebut keajegan. Bentuk-bentuk keteraturan sosial itu bisa berwujud kerja sama, akomodasi, dan asimilasi.
a. Kerja Sama (Cooperation)
Sebagian besar bentuk interaksi sosial merupakan kerja sama. Kerja sama muncul ketika masing-masing pihak memiliki kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat bersamaan mereka mempunyai kesadaran untuk bekerja sama dalam mencapai kepentingan-kepentingan tersebut. Ada beberapa bentuk interaksi yang berupa kerja sama, yakni bargaining, cooptation, coalition, dan joint venture. Soerjono Soekanto (1989) menjelaskan pengertian setiap bentuk kerja sama itu sebagai berikut.
1) Bargaining adalah pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang atau jasa antara dua organisasi atau lebih.
2) Cooptation yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan.
3) Coalition adalah kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Coalition dapat menghasilkan keadaan yang tidak stabil untuk sementara waktu, karena dua organisasi atau lebih tersebut mungkin mempunyai struktur yang berbeda satu sama lain.
4) Joint venture yaitu kerja sama dengan pengusaha proyek tertentu untuk menghasilkan keuntungan yang akan dibagi menurut proporsi tertentu.

b. Akomodasi (Accomodation)
Sering kali kita berusaha untuk menyesuaikan keinginan kita dengan kepentingan orang lain atau kelompok. Upaya itu ditempuh untuk mengurangi ketegangan atau perpecahan. Upaya semacam itu dapat digolongkan dalam bentuk interaksi sosial yang bersifat akomodatif. Akomodasi digunakan untuk menyebut suatu proses penyesuaian antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok, guna mengurangi, mencegah, atau mengatasi ketegangan dan kekacauan. Ada dua pengertian akomodasi. Pertama, akomodasi sebagai keadaan, yaitu suatu kenyataan adanya keseimbangan dalam berinteraksi yang dilandasi dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial bersama. Kedua, akomodasi sebagai proses, yaitu usahausaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan dalam rangka mencapai keseimbangan (kestabilan). Para sosiolog telah merumuskan sembilan bentuk akomodasi, yaitu coercion, arbitrage, compromise, mediation, conciliation, tolerance, stalemate, dan adjudication.

c. Asimilasi (Assimilation)
Asimilasi menunjuk pada proses sosial yang ditandai adanya usaha mengurangi perbedaan yang terdapat di antara beberapa orang atau kelompok serta usaha menyamakan sikap, mental, dan tindakan demi tercapainya tujuan bersama. Proses asimilasi terlihat pada usaha individu atau kelompok untuk bersama-sama dengan individu atau kelompok lain mengurangi perbedaan-perbedaan yang ada demi kepentingan bersama. Dapat pula dikatakan, asimilasi berupa bercampurnya kebudayaan luar dengan kebudayaan lokal sehingga memunculkan kebudayaan baru. Contoh asimilasi antardua kelompok masyarakat adalah upaya untuk membaurkan etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi.
Faktor-faktor pendukung dan penghambat terjadinya proses asimilasi sebagai berikut.
No.
Faktor Pendukung Asimilasi
Faktor Penghambat Asimilasi
1.
Adanya toleransi antarkebudayaan
yang berbeda.
Letak geografis yang terisolasi
(tertutup).
2.
Adanya kesempatan yang sama
dalam bidang ekonomi.
Rendahnya pengetahuan tentang
kebudayaan yang lain.
3.
Adanya sikap menghargai terhadap
orang asing dan kebudayaannya.
Adanya ketakutan yang berlebihan
terhadap kebudayaan yang lain.
4.
Adanya sikap terbuka dari golongan
yang berkuasa.
Adanya sikap superior yang menilai
tinggi kebudayaan sendiri.
5.
Adanya kesamaan-kesamaan dalam
unsur kebudayaan kedua belah pihak.
Adanya perbedaan ciri-ciri ras yang
mencolok.
6.
Terjadinya perkawinan campur.
Adanya perasaan in-group yang kuat.

7.
Adanya musuh bersama dari luar.
Adanya perbedaan kepentingan.




















3.    Proses Disosiatif dan Konflik Sosial

Kehendak untuk maju sering menuntut masyarakat bergesekan dengan nilai dan norma sosial. Untuk meraih keberhasilan, seseorang harus berkompetisi dengan yang lain. Bahkan, tidak jarang pula kita terlibat pertentangan dengan pihak lain. Interaksi sosial yang berbentuk kompetisi (persaingan) dan pertentangan bisa dikatakan sebagai aspek dinamis dari masyarakat. Apa jadinya bila di dalam masyarakat tidak terdapat kompetisi? Kehidupan akan terasa lamban bergulir. Yakinkah kalian, ada sebuah masyarakat yang tidak pernah melakukan perubahan terhadap nilai dan norma sosial? Bentuk-bentuk interaksi yang tergolong dalam proses disosiatif ini memang mengarah pada konflik sosial. Namun, konflik sosial tidak selalu berarti jelek untuk masyarakat.
a. Persaingan (Competition)
Persaingan merupakan proses sosial yang ditandai adanya saling berlomba atau bersaing antarindividu atau antarkelompok tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan untuk mengejar suatu nilai tertentu agar lebih maju, lebih baik, atau lebih kuat. Persaingan mempunyai dua bentuk yaitu personal competition dan impersonal competition. Personal competition menunjuk pada persaingan antara individu dengan individu lainnya. Misalnya, Angga dan Dewi bersaing merebut gelar siswa teladan SMA tingkat kabupaten. Sedangkan impersonal competition mengacu pada persaingan yang tidak melibatkan satu per satu individu, seperti persaingan antara satu sekolah dengan sekolah lain dalam menarik minat masyarakat untuk masuk ke sekolah tersebut. Gillin dan Gillin seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto (1989) memberikan empat fungsi persaingan, yaitu:
1) sebagai penyalur keinginan individu atau kelompok yang bersifat kompetisi,
2) sebagai cara agar nilai-nilai dan sesuatu yang terbatas dapat diperebutkan secara baik,
3) sebagai alat untuk mengadakan seleksi, serta
4) sebagai alat untuk menyaring warga dalam mengerjakan tugas-tugas sehingga terjadi pembagian tugas.

b. Kontravensi (Contravention)
Kontravensi terjadi pada seseorang karena ada gejala ketidakpastian serta keraguan, atau perasaan tidak suka yang disembunyikan terhadap pribadi orang lain. Namun, orang yang melakukan kontravensi tidak menampakkan sikapnya secara jelas kepada orang tersebut. Dengan kata lain, kontravensi adalah suatu sikap mental yang tersembunyi terhadap orang-orang lain atau terhadap unsur-unsur kebudayaan kelompok lain. Leopold von Wiese dan Howard Becker seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto (1989) menyebut empat subproses kontravensi, yaitu:
1)Proses yang Umum Terjadi
Berupa perbuatan-perbuatan, seperti penolakan, keengganan, perlawanan, perbuatan menghalang-halangi, protes, gangguan-gangguan, perbuatan kekerasan, dan perbuatan mengacaukan rencana pihak lain.
2) Proses yang Sederhana
Seperti menyangkal pernyataan orang lain di muka umum, memaki-maki orang lain, penolakan melalui surat selebaran, memfitnah, dan sebagainya.
3) Proses yang Intensif
Seperti perbuatan berkhianat, mengumumkan rahasia pihak lain, dan sebagainya.
4) Proses yang Bersifat Taktis
Perbuatan seperti memprovokasi, intimidasi, mengejutkan lawan, membingungkan pihak lain, dan sebagainya.

c. Pertentangan (Conflict)
Pertentangan adalah suatu proses sosial dalam rangka memenuhi tujuan individu atau kelompok dengan cara menentang pihak lain yang disertai ancaman atau kekerasan. Setiap individu dan kelompok menyadari adanya perbedaan-perbedaan, misalnya ciri-ciri badaniah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, dan pola perilaku. Perasaan yang berwujud amarah dan kebencian akan mempertajam perbedaan ini. Oleh karena itu, konflik merupakan bentuk interaksi sosial yang negatif. Contohnya, pertentangan antarkampung yang menggunakan kekerasan. Menurut Soerjono Soekanto (1989) sebab-sebab terjadinya pertentangan sebagai berikut.
1) Perbedaan antarindividu, seperti perbedaan pemikiran, pendirian, ideologi, kepentingan, dan lain-lain.
2) Perbedaan kebudayaan, seperti adanya perasaan yang menganggap kebudayaannya yang paling unggul dan meremehkan kebudayaan lain dapat memicu perbedaan kebudayaan.
3) Perbedaan kepentingan, seperti pertentangan antara eksekutif (pemerintah) dengan legislatif (DPR) adalah contoh nyata perbedaan kepentingan.

4) Perubahan sosial. Pergeseran nilai dan norma sosial merupakan bentuk perubahan sosial. Apabila perubahan sosial itu berlangsung sangat cepat dapat menimbulkan pertentangan antarkelompok, terutama antara kelompok yang menginginkan perubahan dengan kelompok yang pro status quo (antiperubahan).

Charisma Bella Kisara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar