Hetalia: Axis Powers - Liechtenstein
Hetalia: Axis Powers - Liechtenstein

Selasa, 20 Januari 2015

CERPEN KEBANGSAAN

UNTUK NEGERIKU


Entah telah berapa puluh peluru sudah dimuntahkan senapan Arisaka milik Jarot. Dari balik semak-semak, pria di usia pertengahan 20an itu terus membabi buta menembakkan senjatanya ke arah mobil jip dengan bendera matahari yang telah terbakar.
Tak terdengar lagi perintah Kapten Joko yang meminta pasukannya menghentikan tembakan. “Sudah Jarot! Sudah! Simpan pelurumu untuk perang berikutnya,” tiba-tiba saja suara Kapten Joko terdengar begitu nyaring di telinga Jarot. Jarot pun bersiap, “Siap Kapten!” ujarnya sigap.
“Sudah, kembali ke truck, kita kembali ke markas,” ujar Kapten Joko lagi.
“Siap Kapten!”
Malam begitu gelap. Di dalam tenda Jarot terpekur. Tak bisa ia memejamkan matanya. Padahal, besok pagi dia butuh tenaga ekstra untuk kembali membombardir tentara-tentara Nipon, sang penjajah. Pasukan kelelawar yang dipimpin Kapten Joko, memang berencana melalakukan serangan terhadap rombongan tentara Jepang, yang kabarnya akan melintasi batas kota.
Mereka akan mulai mengepung tempat-tempat yang akan dilewati tentara-tentara Jepang itu, sebelum fajar menyingsing. Menyerag mereka, merampas senjata dan bawaan mereka, seperti biasa. Maka dari itu, Jarot butuh istirahat.
Tapi Jarot tak juga mampu memejamkan matanya. Peristiwa itu, belakangan memang kembali terus menghantuinya. Bayangan wajah Sumi, yang terkapar bersimbah darah, kembali melintas dalam benaknya.
Jarot meraba kantong celananya, menggenggam bandul kalung berbentuk hati, satu-satunya barang Sumi yang masih ia simpan. Ya, hanya bandul kalung itu yang bisa dia bawa, setelah memakamkan sang istri yang tewas saat pasuka Jepang menyerang desa mereka setahun yang lalu.
“Hei, kamu belum tidur, Rot?” suara Amin tiba-tiba mengangetkannya. Amin sahabat Jarot dari desa yang sam, malam itu memang bertugas juga.
“Aku tak bisa tidur, Min,”
“Kenapa?” ujar Amin sambil menyodorkan rokok keretek, lalu duduk di sebelah Jarot.
“Isaplah, barang satu batang, setelah itu cobalah kembali tidur,” ujar Amin lagi.
“Shshshshshshshs,” Jarot mengepulkan asap dari multnya. Pikirannya sudah menerawang.
“Aku tahu, Rot. Tak mudah bagimu untuk melupakan kejadian itu. Tapi, kamu harus tegar. Mungkin, sudah kehendak Yang Kuasa semua itu terjadi.”
“Tapi aku masih belum menerima, Minn!” suara Jarot memotong kalimat-kalimat Amin.
“Japang-Jepang sialan itu membakar desakita, membunuh istriku, ayah ibuku, dengan keji. Apa salah mereka?”
Amin pun diam, dia sangat tahu berapa berat musibah yang dialami sahabatnya itu. Setahun yang lalu, desa mereka yang terletak di kaki bukit, memang dibumihanguskan Pasukan Jepang, yang mencari pemuda-pemuda pejuang seperti Jarot dan Amin.
Amin beruntung, karena keluarganya sudah terlebih dahulu mengungsi. Sementaa Jarot, harus kehilangan keluarganya, termasuk istri yang baru dinikahinya kurang dari sebulan, karena kekejaman Jepang.
“Aku bersumpah...Aku bersumpah, Minn. Aku akan membalasnya!! Itu janjiku dipusaran Sumi,” Jarot berteriak.
“Sudahlah, Rot. Sekarang kau tidur. Nanti setelah subuh kita berangkat. Kamu harus siapkan tenaga,” ujar Amin sambil menepuk pundak sahabatnya.
Kejadian setahun lalu itu memang telah telah semakin membulatkan tekad Jarot untuk menumpas Jepang. Jarot memang membawa dendam, yang kadang melebihi kal sehatnya. Tak heran, Jarot dikenal sebagai serdadu yang tak kenal rasa takut.
Jarot beruntung memiliki Komandan Pasukan seperti Kapten Joko yang begitu bijak. Bukan sekali dua, dalam pertempuran, Kapten Joko selalu memperingatnkan Jarot agar tak membabi buta. Sikap seperti itu menurut Kapten Joko, tak hanya membuang-buang amunisi mereka, melainkan juga bisa membahanyakan nyawa Jarot sendiri.
Tak jarang, Kapten Joko meminta Jarot tak jauh-jauh darinya saat pertempuran. Tujuannya, ya itu tadi, agar Kapten bisa mengontrol keberanian Jarot yang kadang kelewat batas.
Hari telah mencapai tiga perempat malam. Jarot bersama semua pasukan kelelawar telah berada di dalam truck yag akan membawa mereka ke lokasi penyerangan. Jarot kembali teringat Sumi, namun ia juga terganggu akan kata-kata Kapten Joko.
Begitu sampai di lokasi, Kapten Joko pun menggelar strategi. Pasuka kelelawar yang hanya terdiri dari 55 orang, dibaginya menjadi 3 kelompok, berperang di sembilan lokasi penyerangan. Jarot berada satu kelompok dengan Amin.
Selain senapan Arisaka favoritnya, Jarot juga dibekali dua bua granat jagung di sakunya. Semua telah sepakat, baru akan menyerang ketika mendengar perintah Kapten Joko.
Fajar pun menyingsing, hari menjadi terang. Namun kelompok-kelompok pasukan kelelawar yang bersembunyi di balik semak-semak sama sekali tak terlihat. Mereka seolah tak ada.
Tak lama, terdengar deru mobil-mobil Jip yang ditunggangi tentara Jepang. Roda-roda gagah itu menggilas tanah kering berebu yang hanya dilewati para pejalan kaki, para warga desa.
Jarot tak bisa berpikir lagi. Keringat dingin mengucur dari seluruh tubuh di tempat persembunyianya. Tanganya erat menggenggam senapan yang siap memuntahkan peluru-peluru dendam.
Detik-detik trus berpacu. Roda-roda itu pun terasa semakin dekat. Jarot ak kuasa lagi menahan perasaannya. Dan tiba-tiba saja di melompat dari tempat persembunyianya, mengadang jip-jip pasukan Jepang, sambil berteriak “UNTUKMUUU NEGERKUUU...!!!”
Tak pelak, tubuh Jarot pun menjadi santapan empuk berondongan senjata tentara-tentara Jepang. Tubuh Jarot pun roboh seketika, bersimbah darah. Persis tubuh Sumi, saat terakhir kali dilihat Jarot. Namun, Jarot belum mati. Dengan tenaga tersisa, dia melempar dua granat dari tngannya yang sukses meledakkan empat Jip Jepang plus amunisi dan mesiu yang mereka bawa.
Asap kuning hitam menyala-nyala di udara. Empat Jip Jenag pun hangus terbakar bersama dengan tubuh Jarot, yang kali ini sudah tak bernyawa lagi. Bandul kalung berbentuk hati itu pun, ikut hangus, tergeletak di tanah.
MERDEKAAAA....!!!!


Charisma Bella Kisara




****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar